Senin, 11 Februari 2008

Renungan (2)

Apa beda sebutir air bening di ujung daun dengan sebutir debu di dinding kusam?
Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Tidak ada. Hari ini aku menemukan sendiri jawabannya. Apa bedanya? Tidak ada. Sama sekali tidak ada bedanya…keduanya sama-sama keniscayaan kekuasaan-Nya. Keduanya sama-sama menyucikan, meski hakikat dan fisiknya jelas berbeda.

Dulu aku pernah sendiri bertanya dalam sesak…Apa bedanya tahu dan tidak tahu? Apa bedanya kenal dan tidak mengenal? Apa bedanya ada dan tiada? Apa bedanya sekarang dengan kemarin, satu jam yang lalu, satu menit yang lalu, satu detik yang lalu? Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Hari ini, aku juga tetap tidak tahu. Begitu banyak potongan pertanyaan. Tapi tak mengapa. Setidaknya tetap bisa melihat, mendengar, dan terus berpikir. Ada banyak yang tidak lagi. Tepatnya membutakan diri. Menulikan kepala. Atau membebalkan hati…

“Aku tahu, setiap kali aku membuka sebuah buku, aku akan bisa menguak sepetak langit. Dan jika aku membaca sebuah kalimat baru, aku akan sedikit lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Dan segala yang kubaca akan membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar dan luas.”

Rasa nyaman sering membuat orang sulit berubah. Celakanya, kami seringkali tidak tahu kalau kami sudah terjebak oleh perasaan nyaman itu…..Padahal di luar sana, di tengah hujan deras, petir, guntur, janji kehidupan yang lebih baik boleh jadi sedang menanti. Kami justru tetap bertahan di pondok reot dengan atap rumbia yang tampias dimana-mana, merasa nyaman, selalu mencari alasan untuk berkata ‘tidak’…

Rasa takut juga selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya, kami seringkali tidak tahu kalau hampir semua yang kami takuti hanyalah sesuatu yang bahkan tidak pernah terjadi…Kami hanya gentar oleh sesuatu yang boleh jadi ada, boleh jadi tidak. Hanya mereka-reka, lantas menguntai ketakutan itu, bahkan kami tega menciptakan sendiri rasa takut itu, menjadikannya tameng untuk tidak mau berubah….

Jika kalian sedang bersedih, jika kalian sedang terpagut masa lalu menyakitkan, penuh penyesalan seumur hidup, salah satu obatnya adalah dengan ‘menyadari’ masih banyak orang lain yang lebih sedih dan mengalami kejadian lebih menyakitkan dibandingkan kalian. Masih banyak orang lain yang tidak lebih beruntung dibanding kita. Itu akan memberi pengertian bahwa hidup ini belum berakhir. Itu akan membuat kita selalu meyakini: setiap makhluk berhak atas satu harapan.

Bagi musafir, setelah melalui perjalanan jauh melelahkan, penuh sakit, sendiri, dan sesak, sebuah pemberhentian kecil selalu menjadi oase sejuk pelepas dahaga….Setelah keseharian yang penat, rutinitas yang menjemukan, sebuah kabar gembira kecil selalu menjadi selingan yang menyenangkan….Juga setelah semua penderitaan, semua rasa putus asa melewati lorong panjang nan gelap, sebuah titik cahaya, sekecil apapun nyalanya, selalu menjadi kabar baik. Janji-janji perubahan.
Padahal itu selalu terjadi pada kami. Pemberhentian kecil. Kabar gembira. Titik cahaya. Setiap hari kami menemuinya. Masalahnya, kami selalu lalai mengenalnya, kecuali itu benar-benar sebuah kejadian yang luar biasa…atau jangan-jangan kami telalu bebal untuk menyadarinya, mengetahui pernak-pernik kehidupan selalu dipenuhi oleh janji perubahan…

Kami juga lalai untuk mengerti, terkadang setelah pemberhentian kecil menyenangkan itu, justru jalanan menikung, penuh jurang yang siap menunggu. Terkadang setelah selingan yang menyenangkan itu, beban dan rutinitas menjemukan semakin menyebalkan. Terkadang setelah titik cahaya kecil itu, gelap-gulita sempurna siap mengungkung…membuat semuanya semakin terasa sesak, sakit, dan penuh putus asa…

Normalnya, setiap manusia selalu membenci sebuah proses perubahan. Maka agar proses belajar dan berubah itu menjadi menyenangkan, dibutuhkan pengertian, komunikasi, dan penjelasan bahwa proses itu tidak se-menyebalkan seperti yang dibayangkan, bahkan menyenangkan dan berguna untuk dirinya sendiri.

Lihatlah seekor burung terbang bebas di angkasa. Tanpa beban. Berputar-putar menatap hamparan dunia luas…begitu indah, bukan? Begitu pula harusnya saat seseorang akan menimba ilmu, entah itu untuk mencari kehidupan yang lebih baik, entah itu untuk sebuah janji perubahan, ia seharusnya sama bebasnya seperti seekor burung. Tanpa beban. Hidup bebas tanpa beban perasaan, tanpa beban kesedihan. Selalu senang memandang luasnya hamparan kesempatan dan janji kebaikan di muka bumi…

Dalam proses kepergian, lazimnya yang pergi selalu lebih ringan dibandingkan yang ditinggalkan. Lebih ringan untuk melupakan… Yang pergi akan menemui tempat-tempat baru, kenalan-kenalan baru, kehidupan-kehidupan baru, yang pelan tapi pasti semua itu akan mengisi dan menggantikan kenangan lama. Sementara yang ditinggalkan lazimnya tetap berkutat dengan segala kenangan itu…

Maha Suci Engkau ya Allah yang telah menciptakan perasaan. Maha Besar Engkau ya Allah yang telah menciptakan ada dan tiada. Hidup ini adalah penghambaan. Tak ada milik dan pemilik selain Engkau. Tak punya dan mempunyai seperti Engkau.
Tetapi mengapa kau harus menciptakan perasaan? Mengapa kau harus memasukkan bongkah yang disebut dengan “perasaan” itu pada makhluk ciptaan-Mu? Perasaan kehilangan..perasaan memiliki..perasaan mencintai…
Kami tak melihat, Kau berikan mata; kami tak mendengar, Kau berikan telinga; kami tak bergerak, Kau berikan kaki. Kau berikan berpuluh-puluh nikmat lainnya. Jelas sekali, semua itu berguna! Tetapi mengapa Kau harus menciptakan bongkah itu? Mengapa Kau letakkan bongkah perasaan yang seringkali menjadi pengkhianat sejati dalam tubuh kami, mengapa?

Engkaulah alasan semua kehidupan ini. Engkaulah penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang dari-Mu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepada-Mu. Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada sungguh karena-Mu.
Katakanlah wahai semua pecinta di dunia. Katakanlah ikrar cinta itu hanya karena-Nya. Katakanlah semua kerinduan itu hanya karena Allah. Katakanlah semua getar-rasa itu hanya karena Allah. Dan semoga Allah yang Maha mencinta, yang menciptakan dunia dengan kasih-sayangnya, mengajarkan kita tentang cinta sejati.
Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk merasakan hakikatnya. Bagaimanakah dunia jika Allah tidak menciptakan perasaan itu?
Semoga Allah sungguh memberikan kesempatan kepada kita untuk memandang wajah-Nya. Wajah yang akan membuat semua cinta dunia layu bagai kecambah yang tidak pernah tumbuh. Layu bagai api yang tidak pernah panas membakar. Layu bagai sebongkah es yang tidak pernah membeku.

Kawan adalah orang yang menyertai kita dalam perjalanan. Mungkin perjalanan yang pendek, bisa juga yang panjang. Perjalanan maknawi maupun yang hakiki.
Dia memang punya tempat tersendiri pada diri ini sehingga tetap saja mengusik hati. Kegembiraannya adalah kegembiraan kita. Kesedihannya seringkali membuat kita meneteskan airmata.
Ia memang bukan orang yang sempurna. Di sana-sini ada kekurangan yang selalu menyerta. Ia pernah bersalah, sebagaimana wajarnya manusia.
Ia juga pernah menyakiti kita, sebagaimana kita pernah juga menyakiti hatinya. Singgungan kata pernah saling menyapa. Ribut-ribut, tak sependapat atau bertengkar pernah terjadi. Namun kemaafan selalu menyertai setiap kesalahannya maupun kesalahan kita.
Ia adalah orang yang bisa memahami kita sebagaimana kita pun bisa memahami dirinya. Kekurangannya bukanlah hal yang menjadikan kita menjauhinya. Dia pun tak pernah menjauh karena kekurangan kita. Di saat banyak orang melupakan temannya, ia selalu ingat pada kita. Jarak bukan penghalang untuk berbagi rasa. Dikala dekat, ia bisa menyebabkan suasana riang gembira. Dikala jauh, kita seringkali merindukannya. Kebaikan yang ia berikan sungguh tak ternilai materi. Memang, ia bukan orang yang terlahir dari rahim yang sama dengan kita, namun ia tetap memiliki hak-hak yang agung pada kita. Persaudaraan iman adalah ikatan kuat, kokoh tak lepas hanya karena terpisahnya jarak, waktu, bahkan kematian.